BREAKING NEWS

Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae (Hukum untuk rakyat, bukan rakyat untuk penguasa) “Tenrusa anang. Tenrusa tau maega.”


 Oleh: Irham Ihsan

Ketua Sompung Lolona Cenrana 

Pemilu memang telah usai, tetapi pertanyaan besar masih menggantung: ke mana arah janji-janji politik yang pernah diucapkan dengan lantang? Bagi pemenang, kemenangan adalah awal tanggung jawab. Bagi yang kalah, kekalahan hanyalah jeda sebelum pertarungan berikutnya. Namun bagi rakyat, pemilu bukan sekadar kompetisi, melainkan harapan yang dititipkan. Kini yang ditunggu bukan lagi pidato atau baliho, melainkan bukti nyata: apakah janji ditepati, atau sekadar hiasan di musim politik?

Sejarah politik selalu berulang: ada yang menang, ada yang kalah, ada yang menunggu. Falsafah Yunani mengingatkan, politik sejatinya adalah seni menyejahterakan rakyat. Maka pertanyaan kita hari ini: apakah janji politik benar-benar jalan menuju kesejahteraan, atau hanya bayangan yang menguap setelah pesta demokrasi usai?

Dalam falsafah Bugis, pemimpin adalah ia yang menjaga ade’ (aturan) dan menegakkan bicara (keadilan). Pemilu yang baru saja lewat seharusnya menjadi pintu ke arah itu. Tetapi yang terlihat, yang menang larut dalam euforia, yang kalah terjebak dalam kecewa, sementara rakyat masih menunggu: apakah janji-janji yang ditabur kemarin akan benar-benar dituai hari ini?

Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa “al-wa’du dainun” — janji adalah utang. Utang yang wajib ditunaikan, bukan hanya di hadapan rakyat, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.

Hari ini, Kabupaten Bone diguncang gelombang demonstrasi menolak kenaikan PBB-P2. Rakyat menagih janji paslon yang dulu diucapkan dengan lantang di atas panggung debat: kebijakan pajak yang wajar demi kesejahteraan rakyat. Janji itu kini diputar ulang melalui video, menjadi pengingat yang tidak bisa dihapus begitu saja.

Namun, dari demonstrasi ini muncul spekulasi, tuduhan provokasi, hingga saling menyalahkan. Padahal, sebagaimana pesan Socrates, “hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.” Politik pun demikian. Jika para pemimpin enggan mengoreksi diri, maka rakyatlah yang akan memeriksa mereka melalui suara protes di jalanan.

Dalam demokrasi, rakyat adalah pemilik kekuasaan. Kata Yunani demos berarti rakyat, dan kratos berarti kekuasaan. Maka demokrasi sejatinya adalah kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan segelintir elit yang mengabaikan rakyat.

Nilai ini sejatinya sudah lama hidup dalam falsafah Bugis. Para leluhur menanamkan pangadereng — tatanan hidup yang berporos pada ade’ (aturan), bicara (keadilan), dan siri’ na pesse (harga diri dan empati). Seorang pemimpin yang mengingkari janji bukan hanya mencederai rakyat, tetapi juga merusak pangadereng. Sebab, sebagaimana pepatah Bugis, “Tenrusa anang. Tenrusa tau maega.” — jika hukum tegak, rakyat banyak tetap kuat.

Sayangnya, yang kita saksikan justru sebaliknya. Janji diingkari, rakyat dijadikan objek, lalu ketika rakyat menuntut haknya, mereka dituduh provokator. Akhirnya massa dan aparat menjadi korban, sementara sebagian hanya jadi penonton — bahkan menikmati hasil perjuangan tanpa ikut berjuang.

Namun sejarah membuktikan: suara rakyat tidak bisa dipadamkan. Penundaan keputusan pemerintah adalah tanda bahwa kebenaran masih menemukan jalannya.

Insya Allah, perjuangan rakyat adalah bentuk jihad fi sabilillah — membela kaum yang tertindas, menegakkan keadilan, serta melawan kesewenang-wenangan.

Sebagaimana Plato pernah mengingatkan, “Tujuan tertinggi dari politik adalah keadilan.” Maka tugas kita hari ini adalah memastikan janji-janji politik tidak berubah menjadi dusta. Hanya dengan demikian, keadilan akan tegak, rakyat sejahtera, dan demokrasi kembali bermartabat di tanah Bugis tercinta.

Janji adalah amanah, dan amanah akan ditanya di hadapan Allah. Maka siapa yang mengingkarinya, kelak akan berhadapan dengan keadilan Ilahi.

“Narekko nalettei siri’ na pesse, tessirui taué. Tapi narekko napettui janji na bicara, tenrusa anang, tenrusa tau maega.”

(Jika siri’ dan pesse ditinggalkan, manusia kehilangan martabatnya. Tetapi jika janji dan keadilan ditegakkan, hukum kokoh, rakyat pun kuat.)

Sebab kekuasaan tanpa janji yang ditepati hanyalah bayang-bayang. Tetapi kekuasaan yang setia pada janji adalah cermin keadilan, dan di situlah demokrasi menemukan maknanya.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image