OTT KEPALA DESA DAN CERMIN RETAK KORUPSI NEGERI Oleh : Andi Ade Lepu
detikinews.id RABU 30 JULI 2025 - Saya tertinggal 4 hari dari berita ini: Sebanyak 22 kepala desa dan seorang camat terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Lahat, Sumatera Selatan. OTT-nya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Lahat.OLEH : ANDI ADE LIPU, SE., M.Si
ANAK MANTAN KADES WORONGNGE
Ironisnya, mereka diciduk saat para kepala desa itu beserta camat sedang mengikuti rapat persiapan peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Dalam rapat itulah mereka diduga akan menyetor uang dana desa ke oknum aparat. Uangnya disita sebagai BB, kemudian ramai-ramai digiring ke kantor Kejari. Dikawal petugas jaksa dan beberapa tentara.
Penangkapan ini termasuk ramai, mirip penggerebekan judi sabung ayam. Para kepala desa itu terlihat masih mengenakan seragam bertuliskan “Kades” saat digelandang ramai-ramai. Seorang di antaranya nampak masih mengenakan seragam camat.
Apa yang menarik dari berita ini? Pertama, ini mengonfirmasi bahwa selama ini, dana ADD (Anggaran Dana Desa) memang menjadi bancakan rame-rame.
Kepala desa berkumpul di kantor camat lalu urunan uang untuk oknum APH (Aparat Penegak Hukum) tentu sesuatu yang sudah sering dilakukan. Telah seperti kegiatan resmi. Sudah permakluman umum, bukan rahasia, dan terbiasa dianggap wajar. Logika batin kita berkata, ini sudah tradisi setor jatah 'preman' oknum APH sebagai uang keamanan pengelolaan ADD yang bebas dari utak atik pemeriksaan.
Kedua, fenomena ini menjawab pertanyaan kenapa saat ini, untuk menjadi kepala desa orang berani jual tanah sebagai modal untuk menyuap pemilih. Asosiasi pikir mereka adalah kepala desa memiliki ADD. Jika dikelola secara liar, setahun dua tahun, modal kembali. Dalam skala besar, sebenarnya ini juga berlaku di pemilihan kepala daerah. Politik sogok sudah merasuk di mana-mana. Suap dan pungli telah masuk jauh ke ceruk desa, menggantikan ABRI masuk desa-nya Suharto. Ini perlu ditulis, mudah-mudahan bisa dibaca Pak Bupati sebagai cermin kecil.
Ketiga, tak semua APH (biasanya jaksa atau polisi) terlibat dalam permainan peras memeras ini. Buktinya, yang menangkap mereka adalah jaksa. Ini memberi kita semangat baru, apalagi saat ini Kejakssan Agung sedang gencar menangkapi banyak koruptor negeri. Kita memiliki harapan seluruh jaksa dari tingkat agung sampai intel jaksa kabupaten bersih dari laku bancak APBD, yang kadang menjadi teror pembangunan.
Kalau jaksa sudah seperti ini, maka kita tak perlu lagi KPK, dan tak lagi takutkan kebocoran-kebocoran anggaran di semua tingkatan.
Apa yang terjadi di Lahat, Sumatera Selatan ini perlu kita baca sebagai pengingat bahwa tak bisa tidak, korupsi hanya bisa berkurang atau berhenti jika dilawan secara massal, keroyokan, mirip petani membasmi tikus di sawah-sawah. Korupsi harus menjadi musuh bersama. Bukan malah dikerubuti bersama biar bisa dapat tempiasannya.
Ini introspeksi, bahwa kita, terkadang tanpa sadar turut andil dalam menyuburkan korupsi. Seorang pejabat (kepala desa, anggota DPRD, bupati, gubernur, dll) yang ditengarai dengan sangat kuat sebagai koruptor; sering kita puja puji sebagai orang baik dan dermawan hanya karena suka bagi-bagi uang receh, tanpa kita menghitung dalam hati dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu.
Sampai di sini kita menarik nafas. Virus korupsi telah memenuhi udara kita seperti Covid-19 beberapa waktu lalu. Kita semua telah terjangkit kumannya. Menghirupnya tanpa sadar, bakterinya telah mendekam di organ-organ kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi begitu, imunitas integritas dan iman-lah yang mampu mencegah kita terjangkit atau terpapar sedemikian rupa.
Bagaimana pun, korupsi harus kita lawan bersama. Bahkan pun ketika kita sadar pernah melakukan korupsi. Pernah menerima sogokan caleg, pernah menyuap petugas waktu kena tilang, pernah menyuap pemilih di Pemilu, pernah bagi-bagi uang tambang ilegal, pernah fee perjudian, pernah menyetor uang kenaikan pangkat, dan seterusnya.
Kita semua bertanggung jawab dari makin kerasnya korupsi di kampung masing-masing.
Penulis : Anak mantan Kepala Desa Worongnge Sabbangparu (Andi Ade Lipu)
