TpdoTfM5GpzpTSYlTUr6GfG7GA==
Light Dark
Sekolah Rakyat We Tenri Olle : oleh Andi Ade Lepu

Sekolah Rakyat We Tenri Olle : oleh Andi Ade Lepu

Table of contents
×

( Sebuah Refleksi Peringatan Hari Kartini Tahun 2025 )



Oleh:                                                                  Andi Ade Lepu                                              Pemerhati Sosial


Penting dibaca sebagai renungan di Hari Kartini:


Jika heroisme zaman salah satunya diukur dari kepeloporan pendidikan dan kesusastraan, maka kita perlu sesekali melirik salah satu pojok sejarah yang sunyi dari perbincangan, yang di gempita literatur-literatur keindonesiaan hampir tidak pernah bertuliskan namanya. Dia adalah Siti Aisyah We Tenri Olle, seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Tanete dengan stabil dan damai selama lebih dari setengah abad (1855 - 1910), sebuah periode kekuasaan yang mungkin terlama di Nusantara ketika itu. 


Tapi itu tidaklah terlalu penting, namanya kita tuliskan karena kecendekiaan serta kepeloporannya di dunia sastra dan pendidikan, dua bidang yang sangat diminatinya.


We Tenri Olle sejak muda adalah penyuka ilmu pengetahuan. Saat kakeknya La Rumpang Megga menjadi raja Tanete di tahun 1853, ia bertemu seorang peneliti dari Eropa yakni BF Matthes dari Belanda dan Ida Pfeiffer asal Austria. 


Pertemuan itu membawa We Tenri Olle menemukan bintang terangnya dalam cakrawala pengetahuan. Ia bisa dibilang melampaui zamannya saat itu. Seperti halnya Kartini dengan teman Belandanya, ia pun bergaul dengan dua peneliti asing itu. Jika kartini berinteraksi dengan melakukan curhat korespondensi jarak jauh, maka ia bergaul secara verbal dengan melakukan sebuah penelitian sastra bersama-sama. 


Bersama BF Matthes, Ida Pfeiffer dan Ibundanya sendiri, Colli' Pujie; ia bekerja keras mengumpulkan manuskrip-manuskrip La Galigo yang terserak dalam bentuk daun-daun lontar yang dianggap keramat oleh beberapa kalangan Bugis. La Galigo dalam perspektif mereka bukan sekadar epos, tetapi juga adalah petuah suci leluhur (to Riolo) yang layak dikultuskan dengan dupa dan doa-doa saat membukanya. Tantangan lainnya adalah ketinggian bahasa yang tersirat di antara larik-larik aksara Bugis Kuno yang hanya segelintir orang mampu memahaminya.


Kemampuan We Tenri Olle membaca dan memahami bahasa Bugis Kuno dalam bait-bait sajak epos I La Galigo, yang tersusun dalam 300.000 larik cerita berangkai, membuat pekerjaan BF Matthes menjadi lebih mudah. 


Ia kemudian menerbitkan transliterasi I La Galigo dalam aksara Bugis dan terjemahan bahasa Belandanya dalam buku Boeginesche Chrestomathie II tahun 1872. Karya terjemahan itu kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan menjadi rujukan penelitian selanjutnya mengenai epos sastra terindah dan terpanjang di dunia itu.


Dari keterlibatan signifikannya dalam penelitian itu, We Tenri Olle kemudian bertekad memajukan Tanete melalui pendidikan. Sekolah yang didirikan FB Matthes di Makassar yang hanya menerima kalangan tertentu saja, bangsawan dan kaum kaya, menggugah kesadarannya dengan mendirikan sebuah sekolah mandiri pada 1890. 


Sekolah itu dinamainya Sekolah Rakyat yang menerima semua kalangan tanpa diskriminasi sosial, ras, agama juga gender. Sekolah yang dibuka oleh We Tenri Olle tercatat sebagai sekolah pertama di Sulawesi Selatan dan hebatnya lagi sekolah ini berdiri tanpa sokongan dari pemerintahan Hindia Belanda. 


Kelak sekolah ini diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lain sampai pasca kemerdekaan Indonesia. Beberapa kakek nenek saya adalah tamatan sekolah ini (SR). 


Saya tidak tahu, gagasan pendirian Sekolah Rakyat oleh Kementerian Sosial apakah terilhami oleh Sekolah Rakyat versi We Tenri Olle atau tidak. Jika saja hanya kebetulan nama yang sama, tetap kita berharap itu menjadi apresiasi sejarah sekaligus melanjutkan pesan pendidikan gratis untuk semua kalangan tanpa diskriminasi.


Apa yang dilakukan oleh We Tenri Olle dalam hal kepoloporan pendidikan, jelas jauh mendahului apa yang dilakukan oleh RA Kartini di Jawa. Namun, kebijakan politik We Tenri Olle yang netral dan cenderung kooperatif dengan Hindia Belanda, membuatnya tersingkir dari definisi kepahlawanan Indonesia yg dirumuskan sebagai pejuang anti-Belanda. 


Seolah tidak ada tempat bagi anak negeri lain yang melakukan perjuangan di kutub berbeda. Betapapun heroik tindakan yang sudah dilakukan, ia lenyap dan sunyi dari perbincangan sejarah.


Hari ini adalah Hari Kartini, tapi sesekali kita perlu menengok sisi "kepahlawanan" wanita lain yang tak kalah hebatnya. We Tenri Olle, Ratu sekaligus peneliti dan pendidik yang cendekia.


Saya memberi nama puteri bungsu saya Khaulah We Tenri Olle, sebagai doa dan harapan terhadap dirinya dan juga perempuan umumnya untuk berkiprah sebagai wanita yang cerdas, tangguh, berpengetahuan, berwawasan, dan lebih penting adalah memiliki iman yang kuat. 


Al-mar'atu 'imadul bilad.