Praktik pungutan liar (pungli) dengan dalih “denda” Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Nurul Akbar Pongka tak tanggung-tanggung: "siswa yang malas masuk sekolah", diwajibkan membayar sebesar Rp 1 juta rupiah.
Tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk pungli karena merupakan pungutan yang tidak resmi dan tidak sesuai dengan aturan sekolah.
Asriadi pegiat Lembaga Anti Korupsi Kriminal Indonesia (LAKKI) angkat bicara, bahwa praktik pungutan ini melanggar peraturan.
Asriadi mengatakan, merujuk pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, komite dilarang keras melakukan pungutan kepada peserta didik atau wali murid. Komite hanya boleh menggalang dana berbasis sumbangan sukarela, bukan paksaan, kepada media, Senin 5/4/2025.
Terkait dugaan pungli, Asriadi menuntut Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Bone dan Kakanwil Kemenag Provinsi Sulawesi Selatan agar tidak tinggal diam. Sudah saatnya ada langkah konkret untuk menghentikan praktik pungutan liar di Madrasah Aliyah Nurul Akbar Pongka, apalagi jika sudah menjadi kebiasaan tahunan.
“Jika dibiarkan, ini jadi preseden buruk dan mencederai rasa keadilan di dunia pendidikan. Jangan sampai siswa dari keluarga kurang mampu dikucilkan hanya karena tak mampu membayar pungutan seperti ini,” ujar Asriadi.
Lanjut Asriadi, dalam kasus ini, denda malas masuk sekolah yang diwajibkan oleh Kepala Sekolah Nurul Akbar Pongka, diduga sebagai bentuk pungli karena pungutan ini tidak sesuai dengan ketentuan sekolah dan tidak ada dasar hukum yang jelas.
Pelaku pungli dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya Pasal 12 E yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di lembaga pendidikan. Ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, tegas Asriadi.
Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Nurul Akbar Pongka yang dikonfirmasi, hingga ditanyangkan berita ini, belum mendapat tanggapan.
(Ar)